Pages

Jumat, 16 Desember 2011

Latihan UAS 1 IPA Kelas 4


I. Isilah titik-titik di bawah ini dengan jawaban yang tepat!
1.      Rangka kepala tersusun atas tulang-tulang berbentuk ... .
2.      Penyakit pada rangka akibat kekurangan vitamin D adalah ... .
3.      Rangka bahu dibentuk oleh ... .
4.      Mata kita terbebas dari kotoran karena mata memiliki ... .
5.      Kemampuan menebal dan menipisnya mata disebut ... .
6.      Penderita hipermetropia dapat dibantu dengan mengunakan kacamata berlensa ... .
7.      Daun telingan berfungsi untuk ... .
8.      Bagian telinga yang berfungsi sebagai alat keseimbangan adalah ... .
9.      Akar dibedakan menjadi dua jenis yaitu     ...    dan    ...     .
10.   Di batang terdapat dua macam pembuluh, yaitu   ...     dan   ...    .
11.   Kegunaan gigi taring pada karnivora adalah ... .
12.   Belalang muda disebut juga ... .
13.   Hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya membentuk ... .
14.   Persamaan sifat benda padat dan benda cair adalah ... .
15.   Es balok termasuk benda ... .

II. Jawablah soal-soal dibawah ini dengan benar!
1.      Sebutkanlah 3 bagian rangka manusia!

2.      Tuliskanlah bagian-bagian bungan beserta fungsinya !
      
3.      Jelaskan urutan metamorfosis nyamuk !
      
4.      Data : laba-laba – pohon jambu – katak – ulat – ular – ayam – musang.
Buatlah bagan jaring-jaring makanan dengan menggunakan data di atas!
      
5.      Sebutkanlah 3 sifat benda cair!


Sabtu, 10 Desember 2011

LOWONGAN KERJA 2011

Lowongan kerja Desember 2011
Wilayah Purwodadi, Solo, Semarang dan sekitarnya.
Dibutuhkan:
1. hafidz Qur’an
2. S1 MIPA
3. S1 IPS
.4. S1 B.Indonesia
5. S1 B. Jawa
6. S1 Psi
7. S1 Penjas
Lamaran di antar langsung ke SD Integral Purwodadi,
Jl. P. Diponegoro Gg. Keling II, Kalongan, Purwodadi-Grobogan
“tidak terima via post”. Paling lambat 17 Desember 2011
c.p 0815 7517 1655

Kamis, 17 November 2011

Banyak tertawa dapat mematikan hati

Bismillahirrohmaanirrohiim

Rosulullah Shollallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda,
"Jauhilah oleh kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah" (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)


Syaikh Abdul Aziz Bin Baz juga berkata: "Sesungguhnya banyak bercanda dapat menjatuhkan wibawa, menjauhkan diri dari hikmah, menimbulkan kedengkian, mengeraskan hati dan membuat banyak tertawa yang melalaikan diri dari mengingat Allah"

Bagaimana dengan kita? saya, juga teman ya?
Ikhwah Fillah Rohimakumullah,
senyum itu ibadah, tertawa itu sehat, bercanda itu manusiawi, namun, sebagai Agama yang sempurna, Islam telah mengaturnya sedemikian rupa, Rosulullah sebagai manusia, pernah juga bercanda, namun ada batasnya.

Beliau Shollallahu 'alaihi wassalam, diriwayatkan dari beberapa Hadits Shahih, jika bercanda, langit-langit mulutnya tidak terlihat (artinya tidak ngakak kyk kita2 nih,), lalu, ketika bercanda pun rosulullah selalu berkata benar. Tidak seperti kita, kadang harus berbohong atau mengarang-ngarang cerita agar bisa membuat teman kita tertawa.

Ada sebuah cerita yang bisa kita ambil hikmahnya, ada seorang teman kita, namanya "fulan", suka sekali bercanda, orangnya humoris, tapi karena berlebihan, seperti kata Rosulullah dalam hadits

"Jauhilah oleh kalian banyak tertawa, karena banyak tertawa dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah"(HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Hatinya mati, atau keras. Apa buktinya?
Suatu ketika, ia mengikuti Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa) di Masjid dekat rumahnya. Pada malam muhasabah, seperti Mabit pada umumnya seluruh peserta diajak menonton film-film renungan, ketika itu sang ustadz memutar film renungan tentang kematian. Diperlihatkanlah sebuah jasad manusia yang telah kaku, hendak dikafani. Seluruh peserta menyaksikan dengan seksama, serius, dan tentu saja dengan juga mengingat tentang kematian, yang kelak juga akan dialaminya.

Namun, apa yang terjadi dengan si Fulan?
Ketika menonton, tiba-tiba ia tertawa. Peserta lain heran dan mengingatkan sang fulan untuk tenang agar tidak mengganggu peserta lain. Keesokan harinya, teman sebelah si fulan saat muhasabah bertanya, "Lan, kok semalam kamu ketawa sih nonton filmnya? Aku aja ngeri, bayangin kematian, apa amalku dah cukup?"

Dengan santai si fulan menjawab, "Eh, iya, ngeri sih, awalnya aku juga bayanginnya ngeri, tapi lama-lama aku jadi inget pocong di acara komedi di TV kemarin lusa... haha lucu banget..."

Na'udzubillahi mindzaalik, astaghfirullah...

Kisah kedua, ketika itu, ada fulan lain yang sedang berjalan kaki bersama seorang kawannya, tiba-tiba, mereka mengamati sebuah sepeda motor yang unik bentuknya sedang melintasi jalan. Tanpa diduga, sepeda motor itu mengalami tabrakan hebat! dari arah belakang, ditabrak oleh truk!

Fulan dan temannya kaget! Teman si fulan panik, beserta warga yang ada disekitar situ berusaha menolongnya, fulan pun ikut menolong. keesokan harinya, fulan bercerita pada temannya kemarin tentang kecelakaanyang dialami motor di jalan yang mereka lintasi.

"Eh, kasihan ya bapak yang naik motor kemarin" kata si Fulan
"Iya, masya Allah, aku ga tega lihat darahnya bercucuran ..." kata sang teman

"Eh, iya. tapi lucu juga ya... aku jd ketawa kalau ingat kecelakaan kemarin...
lucu... habisnya motornya itu, terlemparnya pas masuk parit.. hahahah... "

Nah.. ikhwah fillah, dari dua kisah si fulan tadi, kita bisa ambil hikmahnya, ketika suatu musibah bisa membuat kita jadi semakin mengingat Allah, dan mengingat kematian,
namun, apa yang terjadi ketika hati sudah mati? maka bukan hikmah yang kita dapatkan, setiap peristiwa, dianggapnya bercanda, tidak pernah serius.

Maka benarlah Sabda Rosulullah Shollallahu 'alaihi wassalam di atas... bahwa terlalu banyak tertawa atau bercanda bisa mematikan hati.

Allahu A'lam

Sumber :
http://masrizqon.multiply.com/journal/item/200

Kamis, 27 Oktober 2011

Daur Hidup Hewan

Kupu-kupu mengalami perubahan bentuk selama hidupnya, dimulai dari telur hingga dewasa. Perubahan bentuk pada kupu-kupu dapat dengan jelas kita amati. Daur hidup kupu-kupu ini sering kita menyebutnya metamorfosis. Metamorfosis adalah proses perubahan bentuk tubuh secara bertahap sampai menjadi dewasa. Namun ada juga hewan yang daur hidupnya tanpa metamorfosis, bahkan sebagian besar hewan. Artinya, sejak menetas atan dilahirkan hewan itu sudah sama seperti induknya, tanpa melalui tahap-tahap perubahan bentuk. Contohnya dari golongan mamalia ( kucing, kambing, sapi, kerbau, kuda, kelinci, kangkuru dll.). Dari kelompok aves ( ayam, burung, bebek, dll)

Metamorfosis sendiri terbagi menjadi dua, yaitu metamorfosis sempurna dan metamorfosis tidak sempurna. Kira - kira bedanya apa ya?


a. Metamorfosis sempurna
Metamorfosis sempurna terjadi pada beberapa hewan yang kita kenal, diantaranya kupu-kupu, nyamuk, katak.
  1. Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna dimulai dari telur - ulat(larva) - kepompong(pupa) - kupu kupu dewasa. 
  2. Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna dimulai dari telur - jentik jentik (larva / tempayak) - pupa - Nyamuk dewasa.
  3. Katak megalami metamorfosis sempurna dimulai dari telur - kecebong (berudu) - berudu berkaki - katak berekor - katak dewasa. 
b. Metamorfosis tidak sempurna
Metamorfosis tidak sempurna terjadi pada beberapa hewan, diantaranya capung, belalang, dan jangkrik.
  1. Capung mengalami metamorfosis tidak sempurna dari telur - capung muda (nimfa) - capung dewasa.
  2. Belalang mengalami metamorfosis tidak sempurna dari telur - belalang muda (nimfa) - belalang dewasa.
  3. Jangkrik mengalami metamorfosis tidak sempurna dari telur - jangkrik muda (nimfa) - jangkrik dewasa.
Perbedaanya adalah metamorfosis sempurna melalui fase kepompong/pupa dan metamorfosis tidak sempurna tidak fase pupa, hanya melalui dua tahap perubahan bentuk.


Itulah sekilas tentang daur hidup hewan, semoga bermanfaat.

Kamis, 13 Oktober 2011

Sejarah Singkat Imam Tirmidzi

Nama dan kelahirannya
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Keilmuan
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun.
Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan para kritikus hadits
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmizi dan Ijtihadnya
Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
1. “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
2. “Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

Sumber : http://nabimuhammad.info

Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi

Imam Al Baihaqi, yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab “Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari”, Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.

Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: “Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai ‘Tali Allah’ dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits.”
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya “Thail Tareekh Naisabouri”: Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku ‘Al Ma’rifa’. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.

Sementara itu, dalam Wafiyatul A’yam, Ibnu Khalkan menulis, “Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara’, dan mencontoh para salafus shalih.”
Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.

Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.

Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku “As-Sunnan Al Kubra”, “Sheub Al Iman”, “Tha La’il An Nabuwwa”, “Al Asma wa As Sifat”, dan “Ma’rifat As Sunnan cal Al Athaar”.

Sumber:
http://nabimuhammad.info
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=162

Sejarah Singkat Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Hadits merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Al-Qur’an.

Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara tentang ilmu hadits, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam abad ini.
Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadits. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadits-hadits lemah dan palsu serta meneliti derajat hadits. Al-Albani mempunyai nama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqadar, ibu kota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu. Ayah al-Albani bernama Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul).
Ketika Raja Ahmad Zagha naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus. Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Al-Albani kecil masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum’iyah al-Is’af al-Khairiyah. Ia terus belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida’iyah.
Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh. Ia mempelajari Al-Qur’an dari ayahnya sampai selesai, disamping juga mempelajari sebagian fikih madzab Hanafi. Al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya. Pada umur 20 tahun, pemuda Al-Albani mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadits. Ketertarikannya itu berawal dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Tulisan-tulisan sang Syeikh, sangat memukau hatinya.
Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya’ Ulumuddin-nya Al-Ghazali. Awalnya kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. Ia mengomentarinya begini, ”Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).” Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus. Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus.
Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya sampai-sampai ia menutup kios reparasi jamnya. Al-Albani lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.
Syeikh Al-Albani pernah dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid’ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Pengalaman mengajarnya dilakukan ketika menjadi pengajar di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Dari tahun 1381-1383 H, ia mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh Al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.
Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, Al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H. Sebelum berpulang, Syeikh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil foto kopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami’ah. Ia wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.
Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang). Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain :
Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah
At-Tawasul wa anwa’uhu
Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha.
Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.

Sumber : http://nabimuhammad.info

Tujuh Perawi Hadits Terbanyak

Kita banyak menjumpai para perawi hadits. Masing masing perawi memiliki keistimewaannya sendiri sendiri. Namun diantara mereka, ada 7 orang yang paling banyak meriwayatkan hadist.
Ada tujuh sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) yang meriwayatkan lebih dari 1.000 hadis semasa hidupnya. Mereka tercatat sebagai sahabat-sahabat Rasul SAW yang terbanyak meriwayatkan hadis.
Ketujuh sahabat tersebut adalah Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu (Ra), Abdullah bin Abbas Ra, Abu Hurairah Ra, Anas bin Malik Ra, Jabir bin Abdullah Ra, Said Al Khudri Ra, dan Aisyah Ra.
Berikut adalah uraian singkat mengenai ketujuh sahabat Rasulullah Saw tersebut:
1. Abdullah bin Umar Ra
Ia adalah putra Umar bin Khathab Ra dan saudara kandung Hafshah Ra, isteri Rasul Saw. Tercatat, Abdullah Ra telah meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis (jumlah kedua terbanyak setelah Abu Hurairah Ra).
Abdullah sangat setia mengikuti Rasul Saw. Jika Rasul Saw menunaikan shalat, ia bermakmum di belakangnya.
Jika Rasul Saw berdoa dengan berdiri maka Abdullah Ra ikut berdiri dan mengamininya. Bahkan ketika Rasul Saw turun dari unta betina setelah mengelilingi kota Mekah dan menunaikan sholat dua rakaat, Abdullah Ra pun ikut mengitari Mekah dan sholat dua rakaat sesudahnya, sebagaimana yang ia saksikan.
Tak heran jika Ummul Mukminin, Aisyah Ra, berkata, ”Tidak seorang pun sahabat yang setara Ibnu Umar (Abdullah Ra) dalam mengikuti jejak Rasulullah (Saw).”
Abdullah Ra juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Ia tak mau meriwayatkan suatu hadis, kecuali yang benar-benar ia ingat huruf demi hurufnya.
Selain itu, Ibnu Umar Ra selalu bangun untuk menunaikan shalat Tahajjut dan memohon ampun di waktu sahur seraya menangis. Setiap kali ia mendengar ayat-ayat tandzir (peringatan) dilantunkan, ia selalu mengeluarkan air mata sebagaimana ayahnya.
2. Abdullah bin Abbas
Pada usia tujuh tahun Abdullah Ra telah menempel pada Rasulullah Saw bagaikan alis dengan mata. Ia juga biasa dibonceng oleh Rasul Saw ketika berpergian, laksana orang dengan bayangannya. Abdullah Ra bercerita, ”Ketika Rasulullah (Saw) hendak shalat, beliau memberikan isyarat agar aku berdiam di belakangnya. Dan, setelah selesai shalat, beliau menatapku seraya bertanya, ‘Mengapa engkau tidak berdiri di sampingku Abdullah (Ra)?’ Aku menjawab, ‘Karena engkau sangat mulia dalam pandanganku. Aku sangat keberatan berdiri di sampingmu.’ Kemudian Rasulullah (Saw) mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ilmu yang hak dan hikmah kepadanya,’.”
Doa tersebut ternyata dikabulkan. Putra Abbas bin Abdul Muthalib , pamanda Rasulullah Saw, ini menjadi sosok yang berilmu luas dan ahli fikih yang mendetil.
Sepanjang hidupnya ia telah meriwayatkan sebanyak 1.660 hadis.
3. Abu Hurairah Ra

Nama aslinya Abdus Syamsi. Setelah masuk Islam saat Perang Khaibar, ia mengganti namanya menjadi Abdur Rahman As Shahri. Kemudian, oleh Rasulullah Saw, ia diberi gelar Hurairah, yang berarti ”Bapak kucing kecil.” Nama ini diberikan setelah ia membawa seekor kucing kecil ke hadapan Rasul Saw.
Kecintaannya kepada Rasulullah Saw luar biasa. Sejak memeluk Islam ia belum pernah berpisah dengan Rasul Saw kecuali saat tidur. Selama empat tahun ia berteman dengan Rasulullah Saw hingga wafatnya, ia selalu mengikuti ke mana Baginda pergi.
Abu Hurairah Ra bukan tipe penulis. Tak seperti Abdullah bin Amru Ra (meriwayatkan 700 hadis) yang selalu menuliskan apa yang ia dengar dari Rasulullah Saw.
Namun, Abu Hurairah Ra memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia pernah berkata, ”Tidak seorang pun dari sahabat-sahabat Rasulullah (Saw) yang menandingi aku dalam hal menghapal hadis kecuali Abdullah bin Amru (Ra). Sesungguhnya (perbedaannya adalah) ia menulis dan aku tidak.”
Tak heran bila Abu Hurairah Ra tercatat sebagai sahabat Rasul Saw yang terbanyak meriwayatkan hadis.
Rasul Saw sendiri pernah berkata kepada Abu Hurairah Ra, ”Barang siapa yang merentangkan selendangnya hingga hadisku selesai, lalu ia melipatnya kembali, maka ia tak akan lupa pada apa saja yang ia dengar dariku.”
Setelah mendengar ini Abu Hurairah Ra langsung merentangkan selendangnya dan Rasulullah Saw mengutarakan hadis yang amat banyak, kemudian memeluk Abu Hurairah Ra. ”Demi Allah,” kata Abu Hurairah, ”Setelah itu aku tidak pernah lupa pada apa yang aku dengar dari beliau.”
4. Anas bin Malik Ra
Anas bin Malik Ra berada pada urutan ketiga terbanyak meriwayatkan hadis. Ia telah meriwayatkan sebanyak 2.286 hadis, setingkat di bawah Abdullah bin Umar Ra. Ayahnya bernama Malik bin Nadhir Ra yang nasabnya bersambung dengan Adi bin Najjar Ra.
Saat Anas Ra berusia 10 tahun, ibunya menyerahkan Anas kepada Rasulullah Saw untuk menjadi pelayan beliau.
Rasulullah Saw memanggil Anas dengan sebutan Dzal Udunaini, yang artinya ”yang punya dua telinga.”
Anas Ra tak mengikuti perang Badar, karena usianya saat itu masih sangat muda. Namun di perang-perang lain, Anas Ra selalu tampil berani. Tatkala Abu Bakar Ra bermusyawarah untuk mempergunakan tenaga Anas Ra,Umar Ra sangat memuji usul tersebut dan berkata, ”Anas (Ra) adalah seorang pemuda yang pandai menulis dan terkenal pula ketakwaannya, karena ia lama bersahabat dengan Rasulullah (Saw).”
Ibnu Sirin berkata, ”Anas (Ra) adalah orang yang paling baik dalam melaksanakan shalat, di rumah atau di perjalanan.” Sedang Abu Hurairah Ra berkata, ”Saya belum pernah berjumpa dengan orang yang seperti Ibnu Sulaim (Anas Ra) dalam melaksanakan shalat.”
5. Jabir bin Abdullah Ra

Setiap orang yang berjumpa dengannya, banyak menimba ilmu darinya. Di Masjid Nabi di Madinah, ia memiliki ‘halaqah’, tempat orang-orang menuntut ilmu dan bertakwa.
Jabir bin Abdullah Ra pernah mengikuti peristiwa bersejarah bersama ayahnya dalam baiat Aqabah. Ia juga berjihad menyertai Rasulullah Saw dalam banyak peperangan, kecuali Perang Badar dan Perang Uhud. Di kedua perang ini, ayahnya, Abdullah bin Amru, mencegahnya untuk ikut.
Setelah sang ayah wafat pada Perang Uhud, Jabir Ra tak pernah lagi absen menyertai Rasulullah Saw di medan jihad. Dan, selama berada di sisi Rasul Saw, Jabir telah mampu meriwayatkan 1.540 hadis.
6. Said Al Khudri Ra
Nama aslinya Saad bin Malik bin Sanan. Namun ia lebih dikenal dengan julukan Abu Said al Hudri. Ia adalah salah seorang sahabat yang dibaiat oleh Rasulullah untuk berpegang pada tali Allah dengan meninggalkan hal-hal yang tercela. Bersamanya dibaiat juga Abu Dzar Al-Ghifari, Sahal bin Saad, Ubbadah bin Shamit, dan Muhammad bin Maslamah. Dan, Abu Said tampil dalam perang Bani Musthalik, perang Khandak, dan perang sesudahnya sebanyak 12 kali.
Abu Said telah meriwayatkan 1.170 hadis. Kepada orang yang bertanya untuk menulis hadis darinya, ia berkata, ”Jangan ditulis hadis, tapi hapalkanlah sebagaimana kami menghapalkannya.”
7. Aisyah Ra

Ia lahir di Mekah empat tahun sesudah kenabian Muhammad Saw. Ia adalah putri Abu Bakar Ra dan Ummi Ruman, dan isteri Rasul Saw, setelah wafatnya Khadijah Ra. Ia memeluk Islam selagi masih kecil, bersama delapan orang yang lain.
Siti Aisyah adalah gadis yang cerdas dan pandai berbahasa. Ia juga menguasai ilmu kesehatan dan ilmu nasab. Seorang sahabat bernama Zuhri pernah berkata, ”Seandainya ilmu Siti Aisyah dibandingkan dengan semua ilmu isteri-isteri Nabi (Saw), dan semua wanita Arab, niscaya ilmu Siti Aisyah-lah yang lebih utama.”
Sahabat yang lain, Anwar, berkata, ”Saya belum pernah melihat orang yang lebih pandai dari Aisyah tentang ilmu kesehatan, syair, dan ilmu fikih.”
Rasulullah Saw begitu sayang kepada Aisyah Ra. Pada suatu kesempatan Rasul Saw berkata kepada Aisyah Ra, ”Rasa cintaku kepadamu ya Aisyah, seperti Al Urwatul Wutsqa (pegangan yang kuat).”
Di kesempatan lain, seorang sahabat bernama Amru bin Ash bertanya kepada Rasulullah Saw tentang siapa yang paling beliau cintai. Beliau menjawab, ”Yang pertama adalah Aisyah, kemudian Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan sahabat-sahabat yang lain.”
Semasa hidupnya, Siti Aisyah telah meriwayatkan sejumlah 2.210 hadis. Keunggulan Siti Aisyah dalam meriwayatkan hadis, kadang-kadang ia bisa meng-istimbatkan (mengkonklusikan) beberapa masalah. Ia kerap berijtihad sendiri lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.

Sumber : http://nabimuhammad.info

Sejarah Singkat Imam Muslim

Sejarah Imam Muslim, mulai dari kelahiran, masa mudanya, bagaimana beliau mempelajari ilmu hadits hingga karya terbaik Imam Muslim dan saat kematian beliau, semua memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Dari biografi imam Muslim kita tahu kegigihan beliau dalam mempertahankan sebuah hadits shahih ataukah maudhu, semua itu layak menjadi cermin pemberi semangat belajar. Sekaligus kekuatan sebuah sikap istiqomah.
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M.
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi.
Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun.
Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan.
Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits.
Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad.
Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut.
Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisan hadits nya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti:
1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8] At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.

Sumber:
_ http://nabimuhammad.info
– http://members.tripod.com/fitrah_online/thema/des98/1298muslim.htm
– http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=171

Sejarah Singkat Imam An Nawawi

Ia lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 1233 dan wafat pada tahun 1278. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq [Damaskus] pada tahun 649 H dan tinggal di distrik Rawahibiyah. Di tempat ini beliau belajar dan sanggup menghafal kitab at-Tanbih hanya dalam waktu empat setengah bulan. Kemudian beliau menghafal kitab al-Muhadzdzabb pada bulan-bulan yang tersisa dari tahun tersebut, dibawah bimbingan Syaikh Kamal Ibnu Ahmad.
Semasa hidupnya beliau selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian beliau adalah kain kasar, sementara serban beliau berwarna hitam dan berukuran kecil.
Beliau suka menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Sang Imam belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar, Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah.
Dia belajar fiqih hadits (pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Murid-murid Imam Nawawi
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar ke Iman Nawawi. Di antara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi, Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Karya
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (المجموع شرح المهذب), panduan hukum Islam yang lengkap.
Minhaj ath-Thalibin (منهاج الطالبين وعمدة المفتين في فقه الإمام الشافعي).
Tahdzib al-Asma (تهذيب الأسماء).
Taqrib al-Taisir (التقريب والتيسير لمعرفة سنن البشير النذير), pengantar studi hadits.
Al-Arba’in an-Nawawiyah (الأربعين النووية), kumpulan 40 -tepatnya 42- hadits penting.[1]
Syarh Shahih Muslim (شرح صحيح مسلم), penjelasan kitab Shahih Muslim bin al-Hajjaj.[2]
Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari (ما تمس إليه حاجة القاري لصـحيح البـخاري).
Riyadhus Shalihin (رياض الصالحين),[3] kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan tingkah laku yang saat ini banyak digunakan di dunia Islam.
Tahrir al-Tanbih (تحرير التنبيه).
Al-Adzkar (الأذكار المنتخبة من كلام سيد الأبرار), kumpulan doa Rasulullah.[4]
At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran (التبيان في آداب حملة القرآن).
Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti (آداب الفتوى والمفتي والمستفتي).
At-Tarkhis bi al-Qiyam (الترخيص بالقيام لذوي الفضل والمزية من أهل الإسلام).
Matn al-Idhah fi al-Manasik (متن الإيضاح في المناسك), membahas tentang haji.
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
Dalam bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan didalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.

Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab 5/354
Sumber:
http://muslim.or.id/?p=217
http://nabimuhammad.info

Sejarah Singkat Imam Bukhari

Kisah sejarah para imam hadits hampir seluruhnya menggambarkan ketekunan dan kekuatan istiqomah mereka yang luar biasa. Semua itu adalah landasan mereka dalam menuliskan dan menetapkan sebuah hadits adalah shahih atau pun bukan. Imam Bukhari, lahir dalam keadaan buta dan yatim, namun kegigihan beliau dalam mengenyam ilmu, senantiasa mencadi contoh menakjudkan bagi setiap orang. Imam Bukhari, bisa dikatakan sebagai salah satu bahkan yang terbesar diantara imam imam hadits lainnya. Perjalanan hidup beliau, mulai kelahiran, masa muda hingga bagaimana beliau menimba ilmu dan menyusun buku hadits, memberikan inspirasi berharga bagi umat Islam dari generasi ke generasi. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya untuk beliau.
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari.
Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.


Sumber: 
– http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Bukhari
– http://id.wikipedia.org/wiki/Cara_Imam_Bukhari_dalam_menulis_kitab_hadits
– http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=173
– http://www.almuhajir.net/article.php?fn=seribukhari1
– http://www.indomedia.com/bpost/012000/28/opini/opini3.htm
- http://nabimuhammad.info