Dikisahkan, ketika melakukan pemantauan terhadap keadaan rakyatnya,
Khalifah Abu Bakar RA dengan ditemani oleh beberapa sahabat memasuki
lahan pertanian seseorang dari golongan Anshar. Ketika berada di tengah
lahan pertanian itu, Abu Bakar melihat seekor burung terbang dari satu
pohon kurma ke pohon kurma lainnya dan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Ia pun duduk dan menangis. Para sahabat pun bertanya kepadanya, ''Wahai
khalifah, apa gerangan yang terjadi pada dirimu?'' Abu Bakar menjawab,
''Aku menangis karena burung itu. Ia terbang dengan enaknya dari satu
pohon ke pohon lainnya, lalu datang ke sumber air dan hinggap di pohon,
kemudian mati tanpa ada hisab dan tanpa ada azab. Aduhai, sekiranya aku
menjadi burung.'' \\
Penghisaban atas semua amal perbuatan adalah hal yang pasti bagi setiap
manusia. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa hari
penghitungan (yaum al-hisab) adalah haqq. Tidak ada seorang pun yang
mampu menghindar dari penghisaban di akhirat kelak. Allah berfirman,
''Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya
kewajiban Kamilah menghisab mereka.'' (QS 88: 25-26).
Ketika hari penghisaban tiba, tidak ada lagi saat untuk beramal. Karena
itu, setiap manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari
penghisaban dengan memperbanyak amal di dunia. Al-Imam Ali bin Abu
Thalib berkata, ''Dunia itu selalu bergerak menjauh dari kehidupan
manusia sedangkan akhirat selalu bergerak mendekatinya. Masing-masing
dari keduanya mempunyai budak yang setia kepadanya. Maka, jadilah kamu
sekalian sebagai budak akhirat dan janganlah kamu sekalian menjadi budak
dunia. Sesungguhnya di dunia inilah tempat beramal dan tidak ada
penghisaban sedangkan di akhirat nanti adalah saat penghisaban dan bukan
tempat beramal.''
Amal yang akan menolong manusia di saat penghisaban nanti adalah amal
saleh yang dilandasi dengan niat suci untuk mendapatkan ridha Allah
semata. Karena itu, setiap manusia harus pandai melakukan evaluasi
terhadap amal yang diperbuatnya di dunia.
Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang cerdas adalah orang yang pandai
menghisab dirinya di dunia dan beramal untuk kehidupan setelah mati
sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang dirinya selalu mengikuti
hawa nafsunya dan hanya suka berharap kepada Allah tanpa melakukan
apa-apa.'' (HR Tirmidzi).
Pernyataan senada ditegaskan Umar bin Khattab RA, ''Hisablah diri kamu
sekalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan berhias dirilah (dengan amal)
untuk menghadapi ujian terbesar. Sesungguhnya, penghisaban di hari
kiamat itu hanya akan terasa ringan bagi orang yang terbiasa menghisab
dirinya di dunia.''
Kebiasaan menghisab diri adalah bukti ketakwaan seorang Mukmin. Dengan
kebiasaan itu, semoga kita termasuk golongan yang ditegaskan Allah SWT
dalam firman-Nya, ''Adapun orang yang diberikan kitab (catatan) amalnya
dari sebelah kanannya, maka ia akan dihisab dengan penghisaban yang
mudah.'' (QS 84: 7-8). Wallahu a'lam
Bening Hati Berbalas Surga
Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para sahabat.
Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur’an. Tiba-tiba Rasulullah
berhenti sejenak dan berkata,”Akan hadir diantara kalian seorang calon
penghuni surga”. Para sahabat pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah
orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan antusias mereka
menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang ke arah pintu.
Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid.
Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih
dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di
antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy.
Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar
keistimewaan dia.
Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari
selanjutnya. Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian
seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian
muncul.
Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang i-laki itulah yang
dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan
istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah
menjulukinya sebagai calon penghuni surga?
Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara
mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari,
sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah
laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.
Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus
mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki
makan, si sahabat ikut makan. Saat si sahabat mengerjakan pekerjaan
rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa
saja. “Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus,” pikirnya. Tapi
ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan
ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur’an dan mengerjakan
ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun
tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.
Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang
istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon
penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.
Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya bermalam.
Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia
bertanya,“Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau
lakukan sehingga kau disebut salh satu calon penghuni surga oleh
Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu”.
Si laki-laki menjawab,” Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam
kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan
biasa pula. Namun da satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.
Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan
orang-orang yang menyakitiku dan ubuang semua iri, dengki, dendam dan
perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur
dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang
menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian.”
Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri.
“Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu
para sahabat mengenai hal ini”. Sang sahabat pun pamit dengan membawa
pelajaran berharga.
***
Kawan, kisah di atas barangkali tak lagi asing. Namun tiada rugi untuk
ditutur kembali. Surga bukan hanya hak para wali, nabi, syuhada dan
ulama. Jika kita merasa hanyalah orang kebanyakan, itu tak berarti kita
tak berhak atas nikmat surga. Karena amalan kecil pun bisa menjadi kunci
masuk surga. Dan ternyata kebersihan hati itu sangat besar nilainya.
Jangan pernah berputus asa atas rahmatNya. Sungguh Dia Maha Pemberi
Karunia. InsyaAllah, jika kita ikhlas, tulus dan mengerjakan penuh
cinta, Dia takkan menyia-nyiakan hambaNya. Wallahu a’lam.
by: Ustadz. Imam Suja'i,
Jum'at, 4 Februari 2011