Pembaruan pendidikan Islam mulai dirintis oleh
murid-murid Syekh Ahmad Khatib, ulama dari Minangkabau yang menetap dan
mengajar di Mekkah. Setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib dan sempat
bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di Timur Tengah khususnya
Mesir, mereka pulang untuk melancarkan pembaruan Islam di sana, mereka tergerak
untuk melancarkan pembaruan sosial Islam di tanah kelahiran mereka. Mereka juga
mengadakan pembaruan pendidikan Islam. Seiring dengan perkembangan pembaruan sosial
agama, mereka mendirikan sekolah-sekolah agama dengan model Barat. Kegiatan
belajar-mengajarnya tidak lagi berlangsung di surau, tetapi di kelas dengan
sistim klasikal. Kurikulum yang diajarkan tidak lagi hanya pengetahuan agama,
tetapi juga pengetahuan umum, bahkan bahasa Belanda dan bahasa Inggris juga
menjadi bagian dari kurikulum. Semua ini untuk kemajuan masyarakat Islam.
Selain itu, jumlah sekolah-sekolah pemerintah
yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan kebutuhan pendidikan. Golongan
tradisional pun tidak dapat memenuhinya. Oleh sebab itu, golongan pembaharu
memerlukan bergerak di bidang pendidikan.¹
Di antara tokoh dan pelopor pembaharu pendidikan
Islam di Minangkabau adalah Syekh Abdullah Ahmad dari Padang Panjang. Dialah pemilik
Surau Jembatan Best, namun dia lebih tertarik untuk mengelola sekolah-sekolah
modern daripada membina suraunya. Pada tahun 1914 ia mempelopori berdirinya
"Syarikat Oesaha" karena ia berpandangan bahwa untuk mencapai
kemajuan ekonomi dan pendidikan, didirikanlah sekolah Adabiah pada 23 Agustus
1915. Demi memperbaiki mutu pendidikan, Abdullah Ahmad memasukkan empat orang
guru berbangsa Belanda di samping dua orang Indonesia, yang memiliki ijazah
mengajar di tingkat HIS. Pada 1916 Sekolah Adabiah diakui oleh pemerintah
sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam. Setahun berikutnya
mendapat subsidi penuh dari gubernemen.²
¹Delia Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1991,h.51.
²Azyumardi Azra, “Surau
di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam M.Dawan
Rahardjo,(ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah,
Jakarta:P3M, 1985,h.169.
³Delia Noer, op.cit.,h.49
Maraknya pembentukan
sekolah-sekolah modern di Minangkabau temyata mengakibatkan perkembangan yang
tidak sehat bagi pendidikan tradisional. Perkembangan surau-surau semakin
tertinggal dengan sekolah-sekolah Islam modern. Surau yang hanya mengajarkan
agama saja kurang diminati oleh masyarakat. Perkembangan zaman yang menuntut
seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan agar tidak tertinggal
mendorong masyarakat lebih memilih masuk ke sekolah-sekolah Islam ketimbang
surau. Di samping itu, surau juga tidak mengeluarkan ijazah sebagai tanda penguasaan
bidang ilmu tertentu yang dapat memberikan kepercayaan untuk mencari pekerjaan,
misalnya sebagai guru agama.
Di antara faktor lain yang mengancam surau
adalah faktor kepemimpinan. Tidak sedikit surau yang tidak dapat bertahan lama
karena pendirinya yang disegani dan dihormati telah meninggal, sementara
penggantinya atau keturunannya tidak dapat diharapkan. Akibatnya, surau-surau
ditutup atau berubah menjadi sekedar tempat belajar membaca al-Qur'an, bahkan
ada yang menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi yang bergerak di
bidang pembaruan pendidikan. Usaha menggabungkan diri ini malah membuat
surau-surau harus kehilangan identitas diri. Sebab harus menyesuaikan diri
secara keseluruhan dengan sistem pendidikan modern.
Akibatnya, ulama-ulama tradisional yang ingin
mempertahankan surau merasa terancam oleh kehadiran sekolah-sekolah Islam
modem. Apalagi, seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra bahwa modemisasi
pendidikan agama di Minangkabau mengarah kepada upaya sekularisasi di dalam
system pendidikan karena subject-matter umum terus membengkak dalam komposisi
kurikulum.4 Untuk menghadapi
sekularisasi dan modemisasi pendidikan Islam, kaum ulama tradisional saling
bersatu. Namun, upaya tersebut harus menemui kegagalan. Berdasarkan rapat besar
kaum ulama tradisional pada 5 Met 1930 di Parabek, Bukit Tinggi, dibentuklah
Pesantren Tarbiyah Islamiyah. Organisasi memutuskan agar lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI mengikuti langkah kaum muda untuk
mengamati sistem pendidikan modem. Tidak heranlah jika keputusan itu berakibat
pada lenyapnya sistem pendidikan Islam model surau.
0 komentar:
Posting Komentar