Pages

Selasa, 07 Mei 2013

Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau

Pembaruan pendidikan Islam mulai dirintis oleh murid-murid Syekh Ahmad Khatib, ulama dari Minangkabau yang menetap dan mengajar di Mekkah. Setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib dan sempat bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di Timur Tengah khususnya Mesir, mereka pulang untuk melancarkan pembaruan Islam di sana, mereka tergerak untuk melancarkan pembaruan sosial Islam di tanah kelahiran mereka. Mereka juga mengadakan pembaruan pendidikan Islam. Seiring dengan perkembangan pembaruan sosial agama, mereka mendirikan sekolah-sekolah agama dengan model Barat. Kegiatan belajar-mengajarnya tidak lagi berlangsung di surau, tetapi di kelas dengan sistim klasikal. Kurikulum yang diajarkan tidak lagi hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan umum, bahkan bahasa Belanda dan bahasa Inggris juga menjadi bagian dari kurikulum. Semua ini untuk kemajuan masyarakat Islam.
Selain itu, jumlah sekolah-sekolah pemerintah yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan kebutuhan pendidikan. Golongan tradisional pun tidak dapat memenuhinya. Oleh sebab itu, golongan pembaharu memerlukan bergerak di bidang pendidikan.¹
Di antara tokoh dan pelopor pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau adalah Syekh Abdullah Ahmad dari Padang Panjang. Dialah pemilik Surau Jembatan Best, namun dia lebih tertarik untuk mengelola sekolah-sekolah modern daripada membina suraunya. Pada tahun 1914 ia mempelopori berdirinya "Syarikat Oesaha" karena ia berpandangan bahwa untuk mencapai kemajuan ekonomi dan pendidikan, didirikanlah sekolah Adabiah pada 23 Agustus 1915. Demi memperbaiki mutu pendidikan, Abdullah Ahmad memasukkan empat orang guru berbangsa Belanda di samping dua orang Indonesia, yang memiliki ijazah mengajar di tingkat HIS. Pada 1916 Sekolah Adabiah diakui oleh pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam. Setahun berikutnya mendapat subsidi penuh dari gubernemen.²
.
¹Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1991,h.51.
²Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam M.Dawan Rahardjo,(ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta:P3M, 1985,h.169.
³Delia Noer, op.cit.,h.49


Maraknya pembentukan sekolah-sekolah modern di Minang­kabau temyata mengakibatkan perkembangan yang tidak sehat bagi pendidikan tradisional. Perkembangan surau-surau semakin tertinggal dengan sekolah-sekolah Islam modern. Surau yang hanya mengajarkan agama saja kurang diminati oleh masyarakat. Perkembangan zaman yang menuntut seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan agar tidak tertinggal mendorong masyarakat lebih memilih masuk ke sekolah-sekolah Islam ketimbang surau. Di samping itu, surau juga tidak mengeluarkan ijazah sebagai tanda penguasaan bidang ilmu tertentu yang dapat memberikan kepercayaan untuk mencari pekerjaan, misalnya sebagai guru agama.
Di antara faktor lain yang mengancam surau adalah faktor kepemimpinan. Tidak sedikit surau yang tidak dapat bertahan lama karena pendirinya yang disegani dan dihormati telah meninggal, sementara penggantinya atau keturunannya tidak dapat diharapkan. Akibatnya, surau-surau ditutup atau berubah menjadi sekedar tempat belajar membaca al-Qur'an, bahkan ada yang menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pembaruan pendidikan. Usaha menggabungkan diri ini malah membuat surau-surau harus kehilangan identitas diri. Sebab harus menyesuaikan diri secara keseluruhan dengan sistem pendidikan modern.
Akibatnya, ulama-ulama tradisional yang ingin mempertahankan surau merasa terancam oleh kehadiran sekolah-sekolah Islam modem. Apalagi, seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra bahwa modemisasi pendidikan agama di Minangkabau mengarah kepada upaya sekularisasi di dalam system pendidikan karena subject-matter umum terus membengkak dalam komposisi kurikulum.4  Untuk menghadapi sekularisasi dan modemisasi pendidikan Islam, kaum ulama tradisional saling bersatu. Namun, upaya tersebut harus menemui kegagalan. Berdasarkan rapat besar kaum ulama tradisional pada 5 Met 1930 di Parabek, Bukit Tinggi, dibentuklah Pesantren Tarbiyah Islamiyah. Organisasi memutuskan agar lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam PTI mengikuti langkah kaum muda untuk mengamati sistem pendidikan modem. Tidak heranlah jika keputusan itu berakibat pada lenyapnya sistem pendidikan Islam model surau.









0 komentar:

Posting Komentar